Tuesday, February 16, 2016

Dibalik Booming Akik yang Mereda di Sejumlah Kota Kini Andalkan Penjualan Online

Dibalik Booming Akik yang Mereda di Sejumlah Kota
Kini Andalkan Penjualan Online


Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah provinsi yang menjadi rujukan penghobi akik di Indonesia Timur. Di sana, ada batu sisik naga, manakara, dan fire opal yang begitu mendominasi pasar akik nasional. Berikut kondisi Sulsel saat tren akik mulai mereda.
Tidak bias dimungkiri bahwa booming akik di Sulsel ikut meredup mengikuti kondisi nasional. Penjual di sejumlah pusat batu akik di Makassar mulai berkurang. Bahkan, sebagian menekuni profesi baru di luar dunia akik.
Hal itu tergambar dari aktivitas pusat akik di lantai 2 kompleks Pasar Segar Panakkukang, Kota Makassar, yang mulai sepi. Hampir  separo stan penjual akik tutup. Mereka tidak lagi beroperasi. Para penjualnya hanya duduk-duduk lesu di stan masing-masing. Hanya ada satu dua pengunjung yang terlihat berinteraksi dengan penjual.
Kondisi itu terasa kontras jika dibandingkan dengan tiga bulan lalu. Yang pernah berkunjung ke “Kota Permata Pasar Segar” beberapa bulan lalu pasti setuju jika penulis mengatakan tempat itu selalu disesaki pengunjung. Orang-orang dari dalam dan luar kota silih berganti datang dan membawa pulang batu-batu permata yang disukainya. Sisik naga, fire opal, manakara, kecubung, hingga batu tokoh banyak diburu.
Pameran pun kerap diadakan. Pameran besar yang diselenggarakan komunitas Makassar Gemstone Lovers (Magello) pada Juni Agustus dan September sukses besar. Omzet Rp 1 miliar per hari diraih. Namun, kondisi berubah sejak awal Oktober lalu. Transaksi akik tiba-tiba sepi. Pengunjung tidak lagi datang berdesak-desakan. Ujung-ujungnya, satu per satu penjual akik angkat kaki dari stan mereka.
Setelah berkeliling mengamati stan-stan yang tutup, penulis menuju ke Nagakarra Gemstone, salah satu stan penjualan akik yang bertahan di tengah lesunya pasar akik. Pipink Dejago, pemilik stan tersebut, mengakui kini penjualan tidak seramai saat booming. “Iya, sejak bulan lalu, satu per satu penjual pergi. Penjualan lesu, turun kira-kira 20 persen. Karena berembus isu harga batu turun. Jadi, penjual tidak semangat lagi, “kata Pipink.
Meski banyak pedagang yang menutup stannya, Pipink berusaha tetap bertahan. Dia terus mengasah bisnis akik agar tetap berkilau. Berbagai strategi ditempuh. Mulai melakukan penjualan secara online, pendekatan personal dengan membangun, hingga mengikuti pameran ke luar kota.
“Kalau boleh jujur, sudah sangat berbeda. Dulu penjualan bisa sampai ratusan juta rupiah per bulan. Itu dari penjualan offline di stan saja. Sekarang 80 persen penjualan lewat online, selebihnya offline. Pembelinya pun didominasi masyarakat dari luar kota seperti Surabaya dan Jogja,” jelasnya. (nurhikmah/ars/JPG/c6/agm).