Dibalik
Booming Akik yang Mereda di Sejumlah Kota
Kini
Andalkan Penjualan Online
Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah
provinsi yang menjadi rujukan penghobi akik di Indonesia Timur. Di sana, ada
batu sisik naga, manakara, dan fire opal yang begitu mendominasi pasar akik
nasional. Berikut kondisi Sulsel saat tren akik mulai mereda.
Tidak bias dimungkiri bahwa booming akik di Sulsel ikut meredup
mengikuti kondisi nasional. Penjual di sejumlah pusat batu akik di Makassar
mulai berkurang. Bahkan, sebagian menekuni profesi baru di luar dunia akik.
Hal itu tergambar dari aktivitas
pusat akik di lantai 2 kompleks Pasar Segar Panakkukang, Kota Makassar, yang
mulai sepi. Hampir separo
stan penjual akik tutup. Mereka tidak lagi beroperasi. Para penjualnya hanya
duduk-duduk lesu di stan masing-masing. Hanya ada satu dua pengunjung yang
terlihat berinteraksi dengan penjual.
Kondisi itu terasa kontras jika dibandingkan dengan
tiga bulan lalu. Yang pernah berkunjung ke “Kota Permata Pasar Segar” beberapa
bulan lalu pasti setuju jika penulis mengatakan tempat itu selalu disesaki
pengunjung. Orang-orang dari dalam dan luar kota silih berganti datang dan
membawa pulang batu-batu permata yang disukainya. Sisik naga, fire opal, manakara, kecubung, hingga
batu tokoh banyak diburu.
Pameran pun kerap diadakan. Pameran besar yang
diselenggarakan komunitas Makassar Gemstone Lovers (Magello) pada Juni Agustus
dan September sukses besar. Omzet Rp 1 miliar per hari diraih. Namun, kondisi
berubah sejak awal Oktober lalu. Transaksi akik tiba-tiba sepi. Pengunjung
tidak lagi datang berdesak-desakan. Ujung-ujungnya, satu per satu penjual akik
angkat kaki dari stan mereka.
Setelah berkeliling mengamati stan-stan yang tutup,
penulis menuju ke Nagakarra Gemstone, salah satu stan penjualan akik yang
bertahan di tengah lesunya pasar akik. Pipink Dejago, pemilik stan tersebut,
mengakui kini penjualan tidak seramai saat booming.
“Iya, sejak bulan lalu, satu per satu penjual pergi. Penjualan lesu, turun
kira-kira 20 persen. Karena berembus isu harga batu turun. Jadi, penjual tidak
semangat lagi, “kata Pipink.
Meski banyak pedagang yang menutup stannya, Pipink
berusaha tetap bertahan. Dia terus mengasah bisnis akik agar tetap berkilau.
Berbagai strategi ditempuh. Mulai melakukan penjualan secara online, pendekatan personal dengan
membangun, hingga mengikuti pameran ke luar kota.
“Kalau boleh jujur, sudah
sangat berbeda. Dulu penjualan bisa sampai ratusan juta rupiah per bulan. Itu
dari penjualan offline di stan saja.
Sekarang 80 persen penjualan lewat online,
selebihnya offline. Pembelinya pun
didominasi masyarakat dari luar kota seperti Surabaya dan Jogja,” jelasnya. (nurhikmah/ars/JPG/c6/agm).