Thursday, December 3, 2015

Bebatuan Jasper Tasikmalaya yang terancam habis karena Penjarahan


Bebatuan Jasper Tasikmalaya yang terancam habis karena Penjarahan

Tasikmalaya dikenal sebagai sentra batu berkualitas jenis jasper. Salah satunya di Sungai Cimedang dan Kampung Pasirgintung, Buniasih, Pancatengah. Jasper di kawasan tersebut kini tinggal bongkahan – bongkahan kecil karena penambangan illegal bertahun-tahun.

Diperlukan waktu sekitar empat jam dari Kota Tasikmalaya menuju lokasi jasper. Empat kecamatan dilewati sebelum sampai ke Pancatengah, yakni Kecamatan Sukaraja, Jatiwaras, Salopa, dan Cikatomas. Sesampai di Pancatengah, sudah tidak terlihat jalanan hitam dan panah aspal. Semuanya bebatuan, tanah dan bekas aspal yang sudah rusak serta mengelupas.

Laju kendaraan  pun semakin lambat karena akses yang bergelombang dan batuan besar terhampar di jalanan. Mencari lokasi adanya batuan jasper tidak sulit ketika bertanya kepada warga yang berada di pinggir jalan. Warga langsung menunjukkan arah yang tepat.
Jarak dari kantor desa Buniasih ke lokasi bebatuan jasper sekitar 4 kilometer. Dengan akses rusak berat, perjalanan sampai ke lokasi menjadi lambat. Bahkan, 2 kilometer semakin dekat ke lokasi, tidak ada jalan beraspal. Semuanya batu dan tanah. Turunan terjal mengiringi perjalanan menuju lokasi jasper.
Sesampai di lokasi, ada satu rumah yang berada di ujung jalan. Di bawahnya adalah sungai Cimedang. Di sungai tersebut terdapat banyak bongkahan jasper. Rumah tersebut milik pasangan suami-istri Suhro, 70 dan Ini, 65. Di pinggir rumah permanen yang berukuran sekitar 8 x 10 meter itu terdapat tiga bongkahan jasper berukuran sekitar 3 x 5 meter dengan berat belasan ton. Selain ukuran jumbo, bongkahan kecil yang beratnya puluhan kilogram juga cukup banyak.
Kata Suhro, bebatuan jasper di dekat rumahnya sudah ada  puluhan tahun silam. Yakni, ketika dia bersama keluarganya tinggal di lokasi tersebut tahun 1965. Pada tahun tersebut, masih terlihat banyak jasper dengan kualitas bagus seperti yang permukaannya halus dan berwarna merah pekat.

Itu berbeda dengan saat ini. Sudah tidak ada yang bagus dan halus alias tinggal bongkahan kasar. “Sekarang tinggal yang jeleknya atau permukaannya kasar. Yang bagus permukaannya halus sudah habis di ambil pada waktu dikirim ke Jepang”.

Dia menjelaskan, semua disebabkan ulah para penambang illegal yang dimotori orang luar Tasik. Mereka bekerja sama dengan para pegawai warga sekitar. Hasil penambangan illegal tersebut dikirim ke Jepang, dimulai pada 1994 sampai 2004. “Batu-batu yang bagus diambil di lahan milik saya, katanya dikirim ke Jepang untuk dijadikan hiasan rumah dan dan keramik”.

Pengambilan batu-batu berukuran besar menggunakan alat berat seperti backhoe dan eskavator. Kemudian, diangkut dengan truk untuk dibawa ke Sukabumi dan dikirim ke Jepang. “Para karyawannya kebanyakan orang Padang. Saat itu tidak ada larangan untuk penambangan sehingga tidak ada warga maupun aparat serta pemerintah setempat yang melarangnya. Saya juga tidak bias melarang penambangan tersebut walaupun berada di tanah saya”.
Namun, para karyawan penambang batu setiap bulan rutin memberikan uang Rp 150.000. Itu kompensasi penambangan batu kepada pemilik lahan. Padahal, menurut pekerja yang merupakan warga setempat, batu yang dijual ke Jepang pernah laku Rp 1 miliar. “ Laku segitu  juga tetap saya dapatnya Rp 150 ribu”.
Menurut dia, batu jasper yang sudah dikirim ke Jepang mencapai ribuan ton. Sebab, batu yang diambil berjumlah besar dan jangka waktunya cukup lama. Setelah 2004, penambangan tersebut dihentikan. Pemda setempat tahu bahwa bebatuan jasper itu hendak dikirm ke Jepang sehingga ada pelarangan penambangan. Sejak pelarangan itu, kawasan tersebut sepi dari aktivitas penambangan illegal.

Pada 2014-2015, jasper kembali menjadi incaran tangan-tangan jahil. Kali ini penambang ilegal tersebut tidak menjual batu ke Jepang atau daerah lain. Melainkan digunakan sendiri sebagai batu akik atau dijual sekitar Tasik. “Kalau kemarin-kemarin yang datang untuk mencari buat batu akik, yang bongkahannya kecil sekitar 30 kilogram.