Bebatuan Jasper
Tasikmalaya yang terancam habis karena Penjarahan
Tasikmalaya
dikenal sebagai sentra batu berkualitas jenis jasper. Salah satunya di Sungai
Cimedang dan Kampung Pasirgintung, Buniasih, Pancatengah. Jasper di kawasan
tersebut kini tinggal bongkahan – bongkahan kecil karena penambangan illegal
bertahun-tahun.
Diperlukan
waktu sekitar empat jam dari Kota Tasikmalaya menuju lokasi jasper. Empat
kecamatan dilewati sebelum sampai ke Pancatengah, yakni Kecamatan Sukaraja,
Jatiwaras, Salopa, dan Cikatomas. Sesampai di Pancatengah, sudah tidak terlihat
jalanan hitam dan panah aspal. Semuanya bebatuan, tanah dan bekas aspal yang
sudah rusak serta mengelupas.
Laju
kendaraan pun semakin lambat karena
akses yang bergelombang dan batuan besar terhampar di jalanan. Mencari lokasi
adanya batuan jasper tidak sulit ketika bertanya kepada warga yang berada di
pinggir jalan. Warga langsung menunjukkan arah yang tepat.
Jarak dari
kantor desa Buniasih ke lokasi bebatuan jasper sekitar 4 kilometer. Dengan
akses rusak berat, perjalanan sampai ke lokasi menjadi lambat. Bahkan, 2
kilometer semakin dekat ke lokasi, tidak ada jalan beraspal. Semuanya batu dan
tanah. Turunan terjal mengiringi perjalanan menuju lokasi jasper.
Sesampai di
lokasi, ada satu rumah yang berada di ujung jalan. Di bawahnya adalah sungai
Cimedang. Di sungai tersebut terdapat banyak bongkahan jasper. Rumah tersebut
milik pasangan suami-istri Suhro, 70 dan Ini, 65. Di pinggir rumah permanen
yang berukuran sekitar 8 x 10 meter itu terdapat tiga bongkahan jasper
berukuran sekitar 3 x 5 meter dengan berat belasan ton. Selain ukuran jumbo,
bongkahan kecil yang beratnya puluhan kilogram juga cukup banyak.
Kata Suhro,
bebatuan jasper di dekat rumahnya sudah ada
puluhan tahun silam. Yakni, ketika dia bersama keluarganya tinggal di
lokasi tersebut tahun 1965. Pada tahun tersebut, masih terlihat banyak jasper
dengan kualitas bagus seperti yang permukaannya halus dan berwarna merah pekat.
Itu berbeda
dengan saat ini. Sudah tidak ada yang bagus dan halus alias tinggal bongkahan
kasar. “Sekarang tinggal yang jeleknya atau permukaannya kasar. Yang bagus
permukaannya halus sudah habis di ambil pada waktu dikirim ke Jepang”.
Dia
menjelaskan, semua disebabkan ulah para penambang illegal yang dimotori orang
luar Tasik. Mereka bekerja sama dengan para pegawai warga sekitar. Hasil
penambangan illegal tersebut dikirim ke Jepang, dimulai pada 1994 sampai 2004.
“Batu-batu yang bagus diambil di lahan milik saya, katanya dikirim ke Jepang
untuk dijadikan hiasan rumah dan dan keramik”.
Pengambilan
batu-batu berukuran besar menggunakan alat berat seperti backhoe dan eskavator. Kemudian, diangkut dengan truk untuk dibawa
ke Sukabumi dan dikirim ke Jepang. “Para karyawannya kebanyakan orang Padang.
Saat itu tidak ada larangan untuk penambangan sehingga tidak ada warga maupun
aparat serta pemerintah setempat yang melarangnya. Saya juga tidak bias
melarang penambangan tersebut walaupun berada di tanah saya”.
Namun, para
karyawan penambang batu setiap bulan rutin memberikan uang Rp 150.000. Itu
kompensasi penambangan batu kepada pemilik lahan. Padahal, menurut pekerja yang
merupakan warga setempat, batu yang dijual ke Jepang pernah laku Rp 1 miliar. “
Laku segitu juga tetap saya dapatnya Rp 150 ribu”.
Menurut dia,
batu jasper yang sudah dikirim ke Jepang mencapai ribuan ton. Sebab, batu yang
diambil berjumlah besar dan jangka waktunya cukup lama. Setelah 2004,
penambangan tersebut dihentikan. Pemda setempat tahu bahwa bebatuan jasper itu
hendak dikirm ke Jepang sehingga ada pelarangan penambangan. Sejak pelarangan
itu, kawasan tersebut sepi dari aktivitas penambangan illegal.
Pada 2014-2015,
jasper kembali menjadi incaran tangan-tangan jahil. Kali ini penambang ilegal
tersebut tidak menjual batu ke Jepang atau daerah lain. Melainkan digunakan
sendiri sebagai batu akik atau dijual sekitar Tasik. “Kalau kemarin-kemarin
yang datang untuk mencari buat batu akik, yang bongkahannya kecil sekitar 30
kilogram.